BERAS ABAH

 


    Abah seorang lelaki tangguh, meski anaknya banyak ia tak pernah mengeluh. Rumah petak sempit di perkampungan kumuh, tak membuat semangatnya rapuh. Abah seorang buruh pabrik genteng dengan 7 anak yang masih kecil dan Asep anaknya tertua baru saja lulus sekolah SMP. Tubuh abah yang ringkih karena penyakit asma, tak membuatnya menyerah pada keadaan.

            “Bah, beras sudah habis,”kata emak.

Hari ini ia hanya menanak nasi setengah liter dan sayur kangkung satu ikat besar. Belum lagi si Asep merengek minta uang buat bayaran sekolah dan si Nyai ingin makan sama ayam geprek.  Lalu ada kabar dari juragan genteng katanya pembeli sepi. Semua menambah beban pikiran abah, hingga akhirnya ia tertidur pulas di bale-bale.

            Emak menghampiri, dibangunkannya si abah dari tidurnya yang pulas. Abah kembali berpikir keras dan akhirnya ia tersenyum kemudian diambilnya sepeda ontel yang biasa menemani pergi ke pabrik genteng. Dikayuhnya menuju pasar untuk menemui Pak Gendut, seorang pedagang beras lalu ia memasukkan 10 liter beras ke dalam karung. Ia meletakkannya di boncengan sepeda belakang sadel. Setelah itu Pak Gendut mencatat dalam buku hutang. Abah semakin bersemangat mengayuh sepeda menuju rumah. Ia membayangkan emak dan anak-anaknya akan kenyang makan nasi hari ini. Sesampainya di rumah ia disambut emak dengan senyum lebar. Abah turun dari sepeda dan hendak menurunkan beras. Namun betapa kaget ketika didapati karung beras sudah kosong. Abah melongo karena sepanjang jalan beras tercecer di jalan dengan karung yang bolong.